MAKALAH
Disusun Oleh :
KELOMPOK VI
AMIRAH
RIKA RAHIM
RAHMAWATI
DIAN RESKI AYU PRATIWI
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah puji
syukur selalu kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmatnya kepada kita semua, sehingga kita masih dapat merasakan nikmat-Nya
yang begitu besar. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
baginda Rasulullah SAW, sebagai pemimpin yang patut kita teladani.
Kami dari penyusun
makalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ PERIWAYATAN HADIS MASA SAHABAT DAN TABI'IN ”, terkhusus kepada Ibu dosen yang telah memberikan tugas tersebut,
sehingga kami dapat mengembangkan wawasan dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam penyusunan
makalah ini, kami dari penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami dari penulis
memohon maaf yang sebesar-besarnya dan kami mengharap kritik serta saran yang
bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan penyusunan makalah
berikutnya. Dalam penyusunan makalah ini penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada para pembaca.
Sengkang, 17 November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Periwayatan Hadis Pada Masa Sahabat ........................................................... 3
B.
Periwayatan Hadis Pada Masa Tabi'in ............................................................ 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................... 15
B. Kritik dan
saran................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam mengenal dua sumber
primer dalan perundang-undangan. pertama, Al-Qur’an dan kedua Al-Hadits.
Terdapat perbedaan yang siknifikan pada sistem infertirisasi sumber tersebut. Al-Qur’an
sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga
terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada
perlakuan khusus yang baku padanya sehingga pemeliharaannya lebih merupakan
spontanitas dan inisitif para sahabat.
Hadits pada awalnya sebuah literatur
yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak di ucapkan terhadap pada
zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan
dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun
10 H, Islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW yang sebagai yang memilik otaritas ajaran Islam, dengan kematiannya umat
merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia
untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat Islam yang
masih muda itu, wahyu-wahyu Ilahi, meskipun sudah di catat belum di susun
dengan baik dan belum dapat di peroleh atau tersedia secara materil ketika Nabi
Muhammad SAW wafat.
Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an
yang sangat sedikit sekali mengangdung petunjuk yang praktis untuk di jadikan
prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktifitas. Khalifah-khalifah awal
membimbing kaum muslim dengan sahabat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada
penilaian mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul
kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri mereka mulai
menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan prilaku Nabi sebagai acuan
dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam
hafalan-hafalan sahabat tersebut di jadikan sebagai bagian dari refrensi panting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang
kemudian disebut dengan hadits.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, penulis merumuskan 2
rumusan masalah, yaitu :
1.
Bagaimanakah Periwayatan
Hadits Pada
Periode Sahabat ?
2.
Bagaimanakah Periwayatan
Hadits Pada
Periode
Tabi’in ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Periwayatan Hadits Pada Masa
Sahabat
Periode sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya Khulafa
Ar-Rasyidin ( Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib ), yaitu sekitar tahun 11 H sampai tahun 40 H. Masa ini juga disebut
dengan masa sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih
terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur'an, periwayatan hadis belum
begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu, para ulama menganggap
masalah ini sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan
periwayatan ( At-Tasabbut wa Al-Iqlal min Ar-Riwayah ).
v Menjaga Pesan Rasulullah SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasulullah SAW. berpesan kepada
para sahabat agar berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadis serta mengajarkannya
kepaa orang lain, sebagaimana sabdanya:
تركت فيكم امرين لن تدلوا ابدا ما ان
تمسكتم بهما كتاب الله و سنة رسوله
Artinya :
'' Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan tersesat,
yaitu kitab Allah (Al- dan Sunnah Rasul-Nya."
Dan sabdanya pula:
بلغوا عنى ولو
اية. رواه البخارى عن عبد الله بن عمرو
بن العاص
Artinya :
"Sampaikan dariku walaupun satu ayat atau satu hadis."
Setelah Nabi wafat ( 11 H = 632 M ), sahabat tidak dapat lagi mendengar
sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara
langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar
bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits ( as-sunnah ) yang harus
dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Kendali kepemimpinan umat Islam
berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan
itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M ), kemudian disusul oleh
‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M ), ‘Usman bin Affan ( wafat 35 H=656
M ), dan ‘Aliy bin Abi Thalib (wafat 40 H=661 M ), keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa’
al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan zaman sahabat besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama pada masa
al-khulafa ‘al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang.
Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur’an dan berusaha membatasi periwayatan Hadits tersebut. Masa
ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan ( al-tatsabbut
wa al-‘iqlah mi al-riwayah ).
Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada
pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang
hadits sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih
hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits
itu. Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat,
disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka
sadari bahwa Hadis merupakan sumber ajaran setelah Al-Qur,an, yang juga harus terpelihara dari kekeliruannya
sebagaimana terpeliharanya Al-Qur'an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya
Khulafaa ar-rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib) dan sahabat lainnya, seperti Az-Zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah
berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan Hadits.
Berikut ini dikemukakan
sikap al-khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadis Nabi.
1.
Abu Bakar al-Siddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad
al-Dzahabiy ( wafat 748 H 1347 M ), Abu
Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya
dalam periwayatan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini di dasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi
kasus waris unuk seorang nenek. Suatu
ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta yang
ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk
Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu
Bakar lalu bertanya kepada sahabat. Al-Mughiroh bin syu’bah menyaakan kepada
Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seper
enam bagian.
Kasus diatas memberikan
petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadits,
sebelum meneliti periwayatnnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta
pada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi.
a.
Dia selalu dalam keadaan
sibuk ketika menjabat khalifah
b.
Kebutuhan akan hadits tidak
banyak pada zaman sesudahnya.
c.
Jarak waktu antara
kewafatannya dengan kewafatannya Nabi sangat singkat.
2.
Umar bin al-Khaththob
Umar dikenal sangat
hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat, misalnya, ketika Umar
mendengar hadis yang disampaikan pada
Ubay bin Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadits
tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay
tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku
demikian, karna saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi. Kebajikan
Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadits, sesungguhnya
tidaklah berarti bahwa Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan
hadits. Larangan Umar tampaknya tidak tertuju pada periwayatan itu sendiri,
tetapi dimaksudkan:
a.
Agar masyarakat lebih
berhati-hati dalam periwayatan hadits
b.
Agar perhatian masyarakat
terhadap Al-Qur’an tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits mengemukakan
bahwa Abu Bakar dan Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila
disertai saksi atau setidaknya-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat
ini menurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadits
meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah
tertentu seringkali ‘Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang
tertentu, seperti Hadits-hadits dari Aisyah. Menurut al-Siba’i, sampai wafatnya
Umar hadits belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati
para sahabat. Baru pada masa Usman bin ‘Affan, periwayatan hadits diperlonggar.
3. Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan Usman
tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh
oleh kedua khalifah pendahulunya. Hanya saja, langkah Usman bin Affan tidaklah setegas langkah Umar bin
al-Khaththob.
Dalam suatu kesempatan
khutbah, Usman meminta kepada para
sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah
mendengar hadits itu pada zaman Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Usman ini
menunjukkan pengakuan atas hati-hati kedua pendahulunya. Sikap hati-hati itu
ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifaannya.
Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam
periwayatan hadits. Tradisi kritis di kalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang
kebenaran dalam periwayatan Hadits :
Pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis
oleh Khulafa’ al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhai-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal
penting, sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung
tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan
perantara antara periwayat setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri
dengan Rasulullah SAW. Karena tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya.
Kedua, para sahabat melakukan
penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri.
Ketiga, para sahabat sebagaimana
dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits.
Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori
Ali bin Abi Tholib, meminta sumpah dari periwayat Hadits.
Kelima, para sahabat menerima
riwayat dari satu orang yang terpercaya.
Keenam, diantara para sahabat
terjadi penerimaan dan periwayatan Hadits tanpa pengecekan terlebih dahulu
apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan memiliki agama
yang kuat sehingga tidak mungkin pendusta.
Sahabat Umar Bin al-Khaththob
juga pernah ingin mencoba menghimpun Hadits tetapi setelah bermusyawarah dan
beristikharoh selama satu bulan beliau berkata : “Sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku
telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian
mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah SWT. Demi Allah
sesungguhnya aku tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu yang
lain selamanya”.
Kekhawatiran Umar bin
al-Khaththob dalam pembukuan hadits adalah tasyabbuh atau menyerupai dengan
ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan
menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi pad nabi mereka di
dalam kitab Tuhan mereka. Umar khawatir umat islam meninggalkan Al-Qur’an dan
hanya membaca Hadits. Jadi Abiu Bakar dan Umar tidak berarti melarang
pengkordifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu:
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu:
1.
Dengan lafadz asli, yakni
menurut lafadz yang mereka terima dari Nabi.
2.
Dengan maknanya saja, yakni
mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafadz asli dari Nabi SAW.
Pada masa Ali r.a, timbul
perpecahan dikalangan umat islam akibat konflik politik antara pendukung Ali
dengan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi 3 golongan :
1.
Syi’ah, pendukung setia
terhadap Ali, diantara mereka fanatic dan terjadi pengkultusan terhadap Ali.
2.
Khawarij, golongan
pemberontak yang tidak setuju dengan perdamain (tahkim) dua kelompok yang
bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung Ali tetapi kemudian mereka
karena tidak menyetujui perdamaian.
3.
Jumhur Muslimin, diantara
mereka ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak
mau melibatkan diri dalam kancah konflik.
Ada dua jalan yang ditempuh
para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW. Pertama dengan jalan
periwayatan lafzhy (redaksinya persis yang diwurudkan Rasulullah SAW ), dan
kedua, dengan jalan periwayatan maknawi(makna saja).
Ø Periwayatan Lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksi atau matannya persis yang diwurudkan Rasulullah
SAW. Ini hanya biasa dilakukan apabila mereka benar-benar menghafal hadis yang
disabdakan Rasulullah SAW.
Ø Periwayatan Maknawi
Para sahabat lainnya b erpendapat bahwa dalam keadaan darurat
karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW. Dibolehkan meriwayatkan
hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan yang matannya
tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Tapi, isi atau maknanya tetap terjaga secara
utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.
B.
Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar
al-Riwayah ila Al-Amshar ( masa berkembang dan meluasnya periwayatan). Pada
masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke Negri Syam, Irak, Mesir,
Syamarkan, Bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol hal ini bersamaan
dengan beratnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka
tugas memangku jabatan pemerintahan dan pejabaran.
Para sahabat dan tabi’in yang ingin mengetahui
hadits-hadits Nabi SAW. Diharuskan berangkat keseluruh pelosok wilayah daula
islamiyah untuk menanyakan hadits kepada sabahat-sahabat besar yang tersebar di
wilayah tersebut dengan demikian pada masa ini disamping tersebarnya
periwiyatan hadits kepelosok-pelosok daerah Jazirah Arab. Perlawatan untuk
mencari hadits pun menjadi ramai.
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi'in tidak
begitu berbeda dengan yang dilakukan para sahabat. Hal ini karena mereka
mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru-guru mereka.tSebagaiman para
sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan Hadits. Hanya saja beban mereka
tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi dengan para sahabat.
Pada masa ini, Al-Qur’an sudah dikumpulkan satu mushof, sehigga tidak lagi
mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa’
al-Rasyidun ( masa khalifa Usmant bin affan ) para sahabat ahli Hadits telah
menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para
tabi’in untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Kondisi ini juga
berimplikasi pada tersebarnya hadits ke berbagai wilayah Islam. Oleh sebab itu
masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan Hadits. ( ‘ashr intisyar
al-riwayah ), yaitu masa dimana hadits tidak lagi hanya terpusat di Madinah
tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai
tokoh-tokohnya.
Pada masa ini daerah
kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari
Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping banyak pula yang masih
tinggal di Madinah dan Mekkah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai
dengan membawa perbendaharaan Hadits yang ada pada mereka, sehingga
Hadits-hadits tersebar di berbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra
Hadits.
Pusat-pusat pembinaan Hadis
sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu:
1.
Madinah, dengan tokoh dari
kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurairah, ibn ‘Umar, Abu sa’id al-Khudri, dll.
Tokoh dari kalangan Tabi’in: Sa’id ibn Musayyib, Umar ibn Zubair, Nafi’ Maula
ibn Umar,dll.
2.
Mekah, dengan tokoh hadits
dari kalangan sahabat: Ibn ‘Abbas, Abdullah ibn Sa’id, dll. Dari kalangan
Tabi’in, tokohnya antara lain: Mujahid ibn Jabr, Ikamah Maula ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah,
dll.
3.
Kufah, dengan tokoh dari
kalangan sahabat : Ali bin Abi thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Sai’id ibn Waqqas,
dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan Tabi’in : Masruq ibn al-Adja’,
Syuraikh ibn al-Haris, dll.
4.
Basrah, dengan tokoh dari
kalangan sahabat: Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma'qal
bin Yasar, Abdurrahman bin Samrah, dan Abu Sa'id Al-Anshari. Tokoh dari
kalangan Tabi'in: Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Yub As-Sakhyatani, Yunus
bin ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Du'amah As-Sudusi,Hisyam bin Hasan.
5.
Syam, dengan tokoh dari
kalangan sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, Ubadah ibn Shamit, dll.
Tokoh dari kalangan Tabi’in: Abu Idris, qabishah ibn Zu’aib, dan Makhul ibn Abi
Muslim.
6.
Mesir, dengan tokoh dari
kalangan sahabat: Abdullah ibn Amr al-Ash, ‘Uqbah ibn Amir, dll. Tokoh dari
kalangan Tabi’in: Yazib ibn Abi Hubaib, Abu Bashrah al-Gifari.
7.
Magrib dan Andalusia, Tokoh
dari kalangan sahabat: Mas'ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin Haris bin Asim
Al-muzani, Salamah bin Al-Akwa, dan Walin bin uqbah bin Abi Mu'id. Tokoh dari
kalangan Tabi'in:Ziyad bin An-Am Al-Mu'afil, Abdurrahman bin Ziyad, Yazin bin
Abi Mansur, Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa'ah bin ra'fi, Muslim bin Yasar.
8.
Yaman, tokoh dari kalangan sahabat: mu'adz bin
Jabal dan Abu Musa Al-Asy'ari. Kedua orang ini telah dikirim sejak Rasulullah
SAW.masih hidup. Tokoh dari kalangan Tabi'in: Hamam bin Munabah dan Wahab bin
Munabah, Tawus mamar bin Rayid.
9.
Khurazan, tokoh dari
kalangan Sahabat: Buraidah bin Husain Al-Aslami dan Qasm bin Al-Abas. Tokoh
dari kalangan Tabi'in:Muhammad bin Ziyad, Muhammad bin Sabit Al-Anshari, Ali
bin Sabit Al-Anshari, dan Yahya bin Sabih Al-Mugri.
Hadits-hadits yang diterima
oleh para tabi’in ini ada yang dalam
bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus di hafal
disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah
para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling
melengkapi, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi pada masa Nabi SAW. Ada
beberapa cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu
Hadits yaitu:
1.
Melalui majelis al-‘ilm,
yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para
jama’ah.
2.
Dalam suatu kesempatan
Rasulullah SAW. Juga biasa menyampaikan haditsnya ke beberapa sahabat yang
sempat hadir dan bertemu pada beliau, yang kemudian Hadits yang di dapat itu
kemudian sahabat menyampaikan lagi
kepada sahabat lain yang belum sempat atau pada saat itu tidak hadir di depan
Rasulullah SAW.
3.
Untuk hal-hal yang sensitife,
seperti hal-hal yang berkaitan dengan soal keluarga dan biologis, dan yang
terutama soal yang menyangkut hubungan suami istri, Rasulullah menyampaikan
melalui istri-istrinya, jadi pada hal-hal yang sensitife Nabi SAW. Dibantu
untuk menyelesaikan masalah tersebut oleh istri-istri beliau.
4.
Melalui hadits yang telah
Rasulullah sampaikan kepada para sahabat, sehingga Hadits-hadits tersebut cepat
tersebar dikalangan masyarakat pada saat itu.
B. Saran
Diakhir tulisan ini penulis
ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca :
1.
Dalam memahami islam
hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang
segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab
berbagai tuntunan perubahan zaman.
2.
Hendaknya setiap orang tetap
bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan sistem pendidikan yang ada.
Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan
kependidikan bagi semua.
DAFTAR PUSTAKA
M. Hasbi
As-Shidieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan
Bintang. 1987.
Ismail,M.Syuhudi, Kesahihan Sanad Hadits,
Ujung Pandang : 1409 H/1988 M
Drs. H. Mudasir, ilmu hadis, bandung :
Pustaka Setia.
Dr. Utang
Ranuwijaya, M.A, Ilmu Hadis, Majalengka : Gaya Media Pratama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar