Rabu, 09 September 2015

PERIWAYATAN HADIS PADA AMSA SAHABAT DAN TABI'IN



MAKALAH
                                                                                              





Disusun Oleh :
KELOMPOK VI
AMIRAH
RIKA RAHIM
RAHMAWATI
DIAN RESKI AYU PRATIWI
       
      

 KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah puji syukur selalu kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kita semua, sehingga kita masih dapat merasakan nikmat-Nya yang begitu besar. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, sebagai pemimpin yang patut kita teladani.
            Kami dari penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ PERIWAYATAN HADIS MASA SAHABAT DAN TABI'IN , terkhusus kepada Ibu dosen yang telah memberikan tugas tersebut, sehingga kami dapat mengembangkan wawasan dalam menyelesaikan makalah ini.
            Dalam penyusunan makalah ini, kami dari penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami dari penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya dan kami mengharap kritik serta saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya. Dalam penyusunan makalah ini penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada para pembaca.
                                                                                    Sengkang, 17 November 2013
Penulis


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................       i
KATA PENGANTAR .....................................................................................................      ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................     iii
BAB I  PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang .................................................................................................      1
B.       Rumusan Masalah ............................................................................................      2
BAB II PEMBAHASAN
A.      Periwayatan Hadis Pada Masa Sahabat ...........................................................      3
B.       Periwayatan Hadis Pada Masa Tabi'in  ............................................................    11
BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan.......................................................................................................    15
B.       Kritik dan saran................................................................................................    16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................    17



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Islam mengenal dua sumber primer dalan perundang-undangan. pertama, Al-Qur’an dan kedua Al-Hadits. Terdapat perbedaan yang siknifikan pada sistem infertirisasi sumber tersebut. Al-Qur’an sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang baku padanya sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisitif para sahabat.
Hadits pada awalnya sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak di ucapkan terhadap pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H, Islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW yang sebagai yang memilik otaritas ajaran Islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat Islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu Ilahi, meskipun sudah di catat belum di susun dengan baik dan belum dapat di peroleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muhammad SAW wafat.
Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengangdung petunjuk yang praktis untuk di jadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktifitas. Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan sahabat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada penilaian mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan prilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut di jadikan sebagai bagian dari refrensi panting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut dengan hadits.
B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, penulis merumuskan 2 rumusan masalah, yaitu :
1.         Bagaimanakah Periwayatan Hadits Pada Periode Sahabat ?
2.         Bagaimanakah Periwayatan Hadits Pada Periode Tabi’in ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Periwayatan Hadits Pada Masa Sahabat
Periode sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya Khulafa Ar-Rasyidin ( Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib ), yaitu sekitar tahun 11 H sampai tahun 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur'an, periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu, para ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan ( At-Tasabbut wa Al-Iqlal min Ar-Riwayah ).
v  Menjaga Pesan Rasulullah SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasulullah SAW. berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadis serta mengajarkannya kepaa orang lain, sebagaimana sabdanya:
تركت فيكم امرين لن تدلوا ابدا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله و سنة رسوله
Artinya :
'' Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al- dan Sunnah Rasul-Nya."


Dan sabdanya pula:      
بلغوا عنى ولو اية.   رواه البخارى عن عبد الله بن عمرو بن العاص
Artinya :
"Sampaikan dariku walaupun satu ayat atau satu hadis."
Setelah Nabi wafat ( 11 H = 632 M ), sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits ( as-sunnah ) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Kendali kepemimpinan umat Islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M ), kemudian disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M ), ‘Usman bin Affan ( wafat 35 H=656 M ), dan  ‘Aliy bin Abi  Thalib (wafat 40 H=661 M ), keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa’ al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan zaman sahabat besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama pada masa al-khulafa ‘al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan berusaha membatasi periwayatan Hadits tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan ( al-tatsabbut wa al-‘iqlah mi al-riwayah ).
Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu. Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa Hadis merupakan sumber ajaran setelah Al-Qur,an, yang  juga harus terpelihara dari kekeliruannya sebagaimana terpeliharanya Al-Qur'an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya Khulafaa ar-rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib) dan sahabat lainnya, seperti Az-Zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan Hadits.    
Berikut ini dikemukakan sikap al-khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadis Nabi.
1.         Abu Bakar al-Siddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy ( wafat  748 H 1347 M ), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini di dasarkan  atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris  unuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta yang ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada sahabat. Al-Mughiroh bin syu’bah menyaakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seper enam bagian.
Kasus diatas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadits, sebelum meneliti periwayatnnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta pada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi.
a.         Dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat khalifah
b.        Kebutuhan akan hadits tidak banyak pada zaman sesudahnya.
c.         Jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatannya Nabi sangat singkat.
2.      Umar bin al-Khaththob
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat, misalnya, ketika Umar mendengar hadis  yang disampaikan pada Ubay bin Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadits tentang  apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karna saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi. Kebajikan Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadits, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadits. Larangan Umar tampaknya tidak tertuju pada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan:
a.         Agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits
b.        Agar perhatian masyarakat terhadap Al-Qur’an tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu Bakar dan Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila disertai saksi atau setidaknya-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadits meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah tertentu seringkali ‘Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti Hadits-hadits dari Aisyah. Menurut al-Siba’i, sampai wafatnya Umar hadits belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa Usman bin ‘Affan, periwayatan hadits diperlonggar.
3.      Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah pendahulunya. Hanya saja, langkah Usman bin Affan tidaklah setegas langkah Umar bin al-Khaththob.
Dalam suatu kesempatan khutbah,  Usman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah mendengar hadits itu pada zaman Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Usman ini menunjukkan pengakuan atas hati-hati kedua pendahulunya. Sikap hati-hati itu ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifaannya.
Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis di kalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan Hadits :
*        Pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis oleh Khulafa’ al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhai-hati dalam  menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan  meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW. Karena tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya.
*        Kedua, para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri.
*        Ketiga, para sahabat sebagaimana dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits.
*         Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali bin Abi Tholib, meminta sumpah dari periwayat Hadits.
*        Kelima, para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.
*         Keenam, diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan Hadits tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin pendusta.
Sahabat Umar Bin al-Khaththob juga pernah ingin mencoba menghimpun Hadits tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharoh selama satu bulan beliau berkata : “Sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah SWT. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu yang lain selamanya”.
Kekhawatiran Umar bin al-Khaththob dalam pembukuan hadits adalah tasyabbuh atau menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi pad nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. Umar khawatir umat islam meninggalkan Al-Qur’an dan hanya membaca Hadits. Jadi Abiu Bakar dan Umar tidak berarti melarang pengkordifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu:
1.        Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka terima dari Nabi.
2.        Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafadz asli dari Nabi SAW.
Pada masa Ali r.a, timbul perpecahan dikalangan umat islam akibat konflik politik antara pendukung Ali dengan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi 3 golongan :
1.        Syi’ah, pendukung setia terhadap Ali, diantara mereka fanatic dan terjadi pengkultusan terhadap Ali.
2.        Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamain          (tahkim) dua kelompok yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung Ali tetapi kemudian mereka karena tidak menyetujui perdamaian.
3.        Jumhur Muslimin, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.
Ada dua jalan yang ditempuh para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW. Pertama dengan jalan periwayatan lafzhy (redaksinya persis yang diwurudkan Rasulullah SAW ), dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi(makna saja).
Ø  Periwayatan Lafzhi
   Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksi atau  matannya persis yang diwurudkan Rasulullah SAW. Ini hanya biasa dilakukan apabila mereka benar-benar menghafal hadis yang disabdakan Rasulullah SAW.

Ø  Periwayatan Maknawi
Para sahabat lainnya b    erpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW. Dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW.  Tapi, isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.
B.       Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar ( masa berkembang dan meluasnya periwayatan). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke Negri Syam, Irak, Mesir, Syamarkan, Bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol hal ini bersamaan dengan beratnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan pejabaran.
Para sahabat dan tabi’in yang ingin mengetahui hadits-hadits Nabi SAW. Diharuskan berangkat keseluruh pelosok wilayah daula islamiyah untuk menanyakan hadits kepada sabahat-sahabat besar yang tersebar di wilayah tersebut dengan demikian pada masa ini disamping tersebarnya periwiyatan hadits kepelosok-pelosok daerah Jazirah Arab. Perlawatan untuk mencari hadits pun menjadi ramai.
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi'in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan para sahabat. Hal ini karena mereka mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru-guru mereka.tSebagaiman para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan Hadits. Hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi dengan para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an sudah dikumpulkan satu mushof, sehigga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa’ al-Rasyidun ( masa khalifa Usmant bin affan ) para sahabat ahli Hadits telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarnya hadits ke berbagai wilayah Islam. Oleh sebab itu masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan Hadits. ( ‘ashr intisyar al-riwayah ), yaitu masa dimana hadits tidak lagi hanya terpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.
Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa perbendaharaan Hadits yang ada pada mereka, sehingga Hadits-hadits tersebar di berbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra Hadits.
Pusat-pusat pembinaan Hadis sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu:
1.         Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurairah, ibn ‘Umar, Abu sa’id al-Khudri, dll. Tokoh dari kalangan Tabi’in: Sa’id ibn Musayyib, Umar ibn Zubair, Nafi’ Maula ibn Umar,dll.
2.         Mekah, dengan tokoh hadits dari kalangan sahabat: Ibn ‘Abbas, Abdullah ibn Sa’id, dll. Dari kalangan Tabi’in, tokohnya antara lain: Mujahid ibn Jabr,  Ikamah Maula ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dll.
3.         Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : Ali bin Abi thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Sai’id ibn Waqqas, dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan Tabi’in : Masruq ibn al-Adja’, Syuraikh ibn al-Haris, dll.
4.         Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma'qal bin Yasar, Abdurrahman bin Samrah, dan Abu Sa'id Al-Anshari. Tokoh dari kalangan Tabi'in: Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Yub As-Sakhyatani, Yunus bin ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Du'amah As-Sudusi,Hisyam bin Hasan.
5.         Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, Ubadah ibn Shamit, dll. Tokoh dari kalangan Tabi’in: Abu Idris, qabishah ibn Zu’aib, dan Makhul ibn Abi Muslim.
6.         Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Abdullah ibn Amr al-Ash, ‘Uqbah ibn Amir, dll. Tokoh dari kalangan Tabi’in: Yazib ibn Abi Hubaib, Abu Bashrah al-Gifari.
7.         Magrib dan Andalusia, Tokoh dari kalangan sahabat: Mas'ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin Haris bin Asim Al-muzani, Salamah bin Al-Akwa, dan Walin bin uqbah bin Abi Mu'id. Tokoh dari kalangan Tabi'in:Ziyad bin An-Am Al-Mu'afil, Abdurrahman bin Ziyad, Yazin bin Abi Mansur, Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa'ah bin ra'fi, Muslim bin Yasar.
8.          Yaman, tokoh dari kalangan sahabat: mu'adz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy'ari. Kedua orang ini telah dikirim sejak Rasulullah SAW.masih hidup. Tokoh dari kalangan Tabi'in: Hamam bin Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus mamar bin Rayid.
9.         Khurazan, tokoh dari kalangan Sahabat: Buraidah bin Husain Al-Aslami dan Qasm bin Al-Abas. Tokoh dari kalangan Tabi'in:Muhammad bin Ziyad, Muhammad bin Sabit Al-Anshari, Ali bin Sabit Al-Anshari, dan Yahya bin Sabih Al-Mugri.
Hadits-hadits yang diterima oleh para tabi’in ini ada yang  dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus di hafal disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Jadi pada masa Nabi SAW. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu Hadits yaitu:
1.         Melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jama’ah.
2.         Dalam suatu kesempatan Rasulullah SAW. Juga biasa menyampaikan haditsnya ke beberapa sahabat yang sempat hadir dan bertemu pada beliau, yang kemudian Hadits yang di dapat itu kemudian sahabat  menyampaikan lagi kepada sahabat lain yang belum sempat atau pada saat itu tidak hadir di depan Rasulullah SAW.
3.         Untuk hal-hal yang sensitife, seperti hal-hal yang berkaitan dengan soal keluarga dan biologis, dan yang terutama soal yang menyangkut hubungan suami istri, Rasulullah menyampaikan melalui istri-istrinya, jadi pada hal-hal yang sensitife Nabi SAW. Dibantu untuk menyelesaikan masalah tersebut oleh istri-istri beliau.
4.         Melalui hadits yang telah Rasulullah sampaikan kepada para sahabat, sehingga Hadits-hadits tersebut cepat tersebar dikalangan masyarakat pada saat itu.


B.       Saran
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca :
1.    Dalam memahami islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2.    Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan sistem pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.

















DAFTAR PUSTAKA
M. Hasbi As-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang. 1987.
Ismail,M.Syuhudi,  Kesahihan Sanad Hadits, Ujung Pandang : 1409 H/1988 M
Drs. H. Mudasir, ilmu hadis, bandung : Pustaka Setia.
Dr. Utang Ranuwijaya, M.A, Ilmu Hadis, Majalengka : Gaya Media Pratama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar